Beritatangerang.com- Kenaikan harga tempe di pasaran, tak lepas dari imbas meroketnya harga kedelai. Hingga para pengrajin tempe ikut menaikan harga produksinya. Akan tetapi, pengrajin tempe di Tangsel mengaku belum ada kesepakatan bersama menaikan harga produksi antar sesama pengrajin tempe.
Hak tersebut dikatakan salah seorang pengrajin tempe, Turipah. Dirinya mengungkapkan rencana mau menaikan harga, tapi belum kompak.
“Sebetulnya, para pengrajin tempe sangat mengeluhkan sedikitnya selisih keuntungan yang diperoleh dengan tetap mempertahankan harga produksi tempe,” ujar Turipah, Kamis (7/1/2021).
Walaupun setiap harinya, Turipah harus mengeluarkan kocek sebesar Rp 900 sampai Rp 930 ribu untuk 100 kilogram bahan baku kedelai setiap harinya. Angka tersebut, meroket tajam jika dibandingkan harga bahan baku kedelai dikisaran Rp700 sampai Rp750 ribu per 100 kilogram kedelai.
“Kalau kita selaku pengrajin turun langsung bekerja memproduksi tempe dan rela tidak menerima upah atas tenaga kita, asal tempe laku dan pekerja kita dapat upah apakah usaha yang seperti itu sehat,” ucapnya.
Lanjutnya Turipah, seharusnya pengrajin yang ikut mengeluarkan tenaganya juga mendapat upah dari pekerjaan yang dia lakukan. Tapi diindustri tempe tidak, para pengrajin rela berkorban tenaganya tidak dibayar asal, pekerja dan usahanya berjalan morat -marit.
Para pengrajin tempe pun menurutnya, mayoritas terkesan sesuka hatinya menaikan harga produksi tempe tanda adanya kesepakatan harga bersama.
“Itu bikin perajin lain sulit mengikuti harga perajin yang menjual murah produksi tempenya tersebut. Terkadang kalau di pasar suka banting harga. Maka kita kadang engga bisa menaikkan harga disitu, dan itu yang menjadi dilema buat perajin di sini,” paparnya.
Adanya persaingan tersebut, kenaikan harga bahan baku kedelai yang menembus 30 persen akhir-akhir ini, dikatakan Turipah merupakan hal yang wajar.
“Jadi perajin disini tidak menghitung tenaganya sendiri. Seharusnya biarpun kita menggunakan tenaga kita sendiri, tetap masuk dalam beban gaji. Jadi selisih keuntungan perajin juga jelas dan semua sama. Kalau usaha seperti itu sebenarnya sudah tidak sehat. Tapi tidak ada pilihan, asal bisa bertahan,” tutup Turipah. (plp)